Archives

Sajak Cinta (Chapter 2)#ed. 3

*****

“Sya, Ke Gramedia yuk. Kakak mau nabung nih. Kantong lagi kering.” Aku mengajak Syesa yang sedang menjeplak di depan laptop sambil scrolling down beranda FB nya.

“Sip sip sip. Tapi habis isya kita pulang ya kak. Ada yang mau aku kerjain ntar malam.” Syesa langsung mengerti maksudku ke Gramedia, Minggu sore ini.

Ya, aku selalu mengusahakan untuk menyisihkan uang setiap bulan. Namun saat anggaran tabungan tak dapat disisihkan, pergi ke toko buku adalah solusinya. Membaca buku, apasaja. Membacanya dan mencatat poin-poin penting. Dan harga setiap buku itulah yang nantinya ku masukkan sebagai saldo tambahan di buku tabungan khususku. Untuk hari ini ada dua tujuanku ke Gramedia, pertama, memang untuk menabung namun yang kedua- yang merupakan tujuan utamaku hari ini- adalah untuk membuat suasana hati Syesa lebih baik. Dengan menghabiskan seharian ini di kamar, kurasa suasana hatinya tak akan jauh lebih baik. Semoga dengan berjalan sore ini akan dapat mengurangi pikirannya, aku ingin hembusan angin sore dapat menepis kesedihannya, aku ingin langit sore dapat mengukir sebuah kesyukuran di hatinya.

***

Lantunan Fur Elise Beethoven memenuhi ruangan, mengalun menenangkan, menyentuh hati, memberikan kenyamanan pada pengunjung toko buku besar ini. Aku menyusuri deretan buku-buku terbaru, sembarangan membaca sebuah buku yang sudah dibuka bungkusnya. “SURAT DARI QATAR”. Aku tergerak membacanya.

Ya, melakukan perjalanan jauh dari kampung halaman adalah cita-citaku semenjak kecil. Membiarkan kakiku menjejaki tanah-tanah yang berbeda, mempersilahkan mataku menangkap lanskap yang tak sama, menengadahkan wajah ke langit yang kupercayai pasti berbeda dengan langit kampungku, dan mengizinkan kulitku merabai cuaca yang beragam di negeri bermusim. Itu mimpi masa kecilku yang masih ku genggam erat sampai saat ini.

“Kak, ntar kalau mau pulang miscall ya, aku mau lihat-lihat ke sana” Syesa menunjuk ke dinding kaca yang mengarah ke jalanan, disana terdapat rak buku-buku sastra dan psikologi.

“Hummm” aku mengangguk sambil mengedipkan salah satu mata padanya sambil beranjak pergi mencari tempat untuk membaca.

Minggu malam seperti ini memang agak susah mencari tempat duduk yang kosong. Ya, hari Sabtu dan Minggu adalah hari toko buku ini banyak dikunjungi. Mungkin di dua hari itulah orang kantoran dapat meluangkan waktu mereka untuk anak-anak dan keluarga. Lihat saja, di basemen, lantai 1, dan lantai 2 toko buku ini dipenuhi oleh anak-anak, para Ibu-Ibu muda, dan bapak-bapak muda, sedangkan mahasiswa terlihat tidak begitu ramai.

Setelah beberapa menit berjalan-jalan mencari tempat duduk yang kosong, namun tidak juga kutemukan, akhirnya kuputuskan saja untuk menjeplak di salah satu sudut toko buku, dibawah rak-rak kamus-kamus. Aku mulai membaca buku itu sambil sesekali mengeluarkan catatan kecilku untuk menuliskan beberapa kutipan yang aku sukai. Tiba-tiba terdengar

“Selamat sore pengunjung toko buku Gramedia yang kami hormati, selamat menikmati bacaan anda. Demi kenyamanan kita bersama, kami mohonkan kepada pengunjung untuk tidak duduk di lorong rak-rak buku dan tidak menyalin isi buku bacaan anda disini. Terima Kasih”
Jleb, aku menelan ludah. Berkali-kali aku ke toko buku ini untuk menabung, namun baru kali ini suara di interkom itu terasa menegurku secara langsung. Bagaimana tidak, dua ultimatum yang disebutkannya adalah hal-hal yang sedang aku langgar. Ah. Aku melihat-lihat ke atas, mencari-cari dimana letak kamera CCTV di ruangan ini, tapi tidak kutemukan.

“Kena Lo Mi” Aku membathin sambil beranjak kikuk dari pojok kamus-kamus itu, melirik kaku malu-malu kepada karyawan toko buku yang sedang menyusun buku-buku di rak-raknya.
“Ah” aku beranjak cepat ke arah depan. Melanjutkan proses membacaku sambil berdiri.

Proses pencatatanku tetap harus aku lakukan. Aku mencari-cari akal. Cling. Sebuah ide nyampir di otakku. Ku keluarkan Hp hitam kecilku dan mulai berlagak sms an dengan menulis beberapa kutipan dari buku yang sedang kubaca.

“Kena Lo. Sejeli-jelinya CCTV memata-mataiku, Si Mia ini lebih lihai Bung.” Aku menyeringai dengan senyum kemenangan, jumawa melirik ke arah langit-langit toko buku itu sambil terus mengetikkan ‘sebuah sms, pengganti catatan’ di hape ku.

Sajak Cinta (Chapter 2)#ed.2

Mentari mengetuk tabir langit dari ufuk timur, menyulam kelam menjadikannya bernuansa biru pekat dengan sedikit demi sedikit meronakan jingga. Beranjak jingga, berarti takkan lama mentari akan menyapa tingkap kamarku, masuk kedalamnya, membuat mata terpicingkan memandangnya. Hangat. Larik sinar masuk, melukiskan bingkai terali jendela di atas lantai. Persis sama. Lama-lama semakin memanjang. Saat mulai sepenggalah dan terus lebih tinggi, kemudian mencari-cari prisma kecil di atas meja. Masuk ke dalam prisma. Membidik fokus. Kemudian menghiasi dinding kamarku dengan warna-warni merah, jingga, kuning, hijau, biru, nila, ungu. PELANGI di atas meja kamarku.

Sebenarnya aku sudah bangun sedari tadi. Tapi aku masih belum beranjak dari atas bentangan karpet yang tak terlalu tebal ini. Mengingat sekarang adalah hari Minggu, kuputuskan untuk sedikit berleha-leha pagi ini, menyaksikan sinar mentari yang menelisik masuk ke dalam kamar, menikmati pencahayaan yang semakin terang dikamarku. Memandang pelangi buatan di dalam kamar.
Syesa masih tertidur di kasurku, semalam ia baru bisa tidur dini hari, setelah kulihatkan video itu padanya. “Semoga ia kuat”, pikirku.

Ah, aku baru saja teringat, buku diari spesial untuk Tika yang baru kutulisi satu paragraf semalam masih terbuka di atas meja belajar. Aku beranjak kesana, duduk sambil menimang-nimang buku tersebut.

“Kalau kalian ingin menyejarah, maka menulislah. Kalau kalian adalah orang besar maka tulislah tentang kehidupan kalian. Kalau tidak maka tulislah tentang kehidupan orang-orang besar” begitu kalimat bijak yang ku kutip dari sebuah acara pertemuan dengan salah seorang penulis buku best seller beberapa bulan lalu, yang membuatku berniat mengabadikan sekelumit perjalanan teman baikku, Tika.

Benar, terkadang aku bisa menjadi begitu melankolis. Membayangkan tulisanku tentang perjalanan pertemananku dengannya menjadi sebuah kenang-kenangan terindah dariku untuknya –ketika kami harus mengakhiri pertemuan setelah menyelesaikan kuliah ini.
Membayangkan Tika menyebut namaku ketika ia bercerita kepada gadis kecilnya atau putra ciliknya nanti. Memperkenalkanku sebagai teman Duo nya diperkuliahan. Anaknya yang akan mengangkat sebelah alis matanya ketika Ibu mereka menyebutkan Nama Duo kami yang bisa membuat orang mengernyitkan dahi –tak mengerti- dengan alasan pemilihan Nama Duo kami tersebut. Anak-anak Tika yang akan terinspirasi untuk mengikuti jejakku, menuliskan perjalanan pertemanan mereka nantinya. Ah membayangkannya saja sudah membuatku bahagia sekali.

“Kak…”, Lamunanku terhenti. Syesa ternyata sudah terbangun.

“Ya…nyenyak tidur semalam ?” tanyaku singkat.

“Hmmm.” Syesa menjawab lebih singkat lagi.

“Hayu sarapan. Ketopra yuk. Cuci muka dulu gih. Mau dipesan aja apa mau makan kesana ?” Aku berusaha tetap membuat suasana hati Syesa tak berubah jadi lebih buruk dari semalam.

“Makan disini aja, kakak punya nomer Abang ketopra nya kan ?”

Sepertinya suasana hati Syesa lumayan terkendali, ia tak mengajakku keluar seperti yang biasa dilakukannya kalau sedang bad mood.

“Ada. Kamu mau berapa rawitnya ? Kakak 5. Extra pedas euy.” Berharap Syesa lebih semangat ketika aku tak mengungkit-ungkit tangisnya tadi malam.

“3 deh. Kakak mah lidahnya udah sahabatan sama cengek. Heehee” Syesa tersenyum sambil beranjak ke kamar mandi. Aku lega Syesa sudah bisa tersenyum pagi ini.

***
(bersambung)

Sajak Cinta (Chapter 2) #ed.1

BAB II

Namamu Karina Kartika Kurnia, aku tertawa saat kamu memperkenalkan namamu ketika di suruh Prof. Mite di pertemuan pertama angkatan kita. Aneh saja, nama dengan tiga suku kata berawalan ‘K’. Mendengar namamu, Kotak K3, adalah benda pertama yang terlintas di benakku. Membayangkan kotak dengan lambang cross merah berisikan obat merah, verband, dan kawan-kawannya. Bertanya-tanya apa makna namanu.
Namamu unik, nama dengan huruf K sebanyak 3 buah, huruf I juga tiga buah, dan huruf R juga tiga buah. Dari dua alasan unik dan menariknya namamu, ada satu alasan yang membuatku tertawa sendiri lebih lama. Kamu tahu apa ? Hehe, ya kecadelanmu dalam mengucapkan huruf R disetiap suku kata namamu, Tika.
Kamu tahu ? Kalau saja orang tuamu tahu kamu tidak bisa melafazkan huruf ‘R’ itu sampai sekarang, mugkin Ayah dan Ibu mu akan berfikir dua kali untuk memberimu nama itu, Tika. Tapi ya begitulah, kita tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan. Hanya bisa melakukan sesuatu yang baik dengan cara terbaik yang kita bisa. Dan tentu saja Ayah dan Ibu mu tahu betul apa yang telah mereka lakukan. Memberikan nama terbaik dengan do’a terbaik di dalamnya untuk mu.
Namun, se-false apapun kamu membunyikan huruf ‘R’ di namamu itu, tetap saja komponen dan do’a dalam namamu itu tidak berubah. Nama itu tetap akan sama makna dan indahnya, bahkan menurutku karena kecadelanmu itulah namamu jauh lebih unik dan mudah di ingat, Tika. Nama yang membuat orang akan tersenyum –tidak hanya aku- ketika kamu melafazkannya.
“Teman-teman tertawa ya mendengar nama saya ? Tertawa karena apa ? Karena kecadelan sayakah ?”Dengan tersenyum kamu menanggapi senyum dan tertawa tertahan kami sekelas –bahkan Prof. Mite- kala itu. “Pintar” itu satu kata yang kuucapkan pelan atas gayamu itu, Tika. Sepertinya, kamu puya keahlian mengatasi massa. “Oh, tidak apa-apa Prof dan teman-teman semua. Saya mensyukuri kecadelan ini. Dan ini adalah cadel bawaan karena saya semasa kecil tinggal di Samarinda. Coba saja tanyakan, banyak orang Samarinda yang tidak lurus menyebutkan huruf ‘R’ dan saya, satu diantara sekian banyak itu.” Kamu masih melanjutkan perkenalanmu, perkenalan terlama hari itu. Walaupun terlama, itu tidak mengganggu kenyamanan kami sebagai pendengar. Bagaimana tidak ? Kamu pintar mengendalikan semuanya, mengendalikan kami agar tetap setia mendengar perkenalanmu yang seharusnya tidak harus sampai kepada sejarah tentang kecadelan nama itu. “Bukankah begitu, Prof ?” Aku tak menyangka, kamu akan menambahkan pertanyaan setengah penegasan kepada Prof. Mite waktu itu, Tika. Apa kamu tidak takut dengan dosen kita itu. Dosen pertama di kuliah pertama kita, Tika. Kamu begitu yakin, Prof. Mite tidak akan menganggapmu lancang hari itu. Bahkan begitu yakin Prof. Mite akan mau menanggapi pertanyaan setengah penegasanmu itu, Tika. “Oh ya ? Hmm tapi mungkin saja, dulu memang ada teman seangkatan saya yang cadel. Dan kampungnya memang di Samarinda.” Oh Tika, jangankan marah, Prof. Mite malah sempat mengingat-ingat teman seangkatannya beberapa puluh tahun lalu untuk menanggapimu. Aku terkagum saat itu. Dengan kepercayaan diri yang pas tanpa terkesan sombong, kamu membuktikan bahwa pameo yang menyatakan profesor berkepala botak adalah orang-orang dingin dan galak kepada mahasiswa, itu tidak selamanya benar. Dan itu pembuktian yang melegakan, Tika. Melegakanku, si anak dari kampung dari Sumatera ini.

Dua halaman telah terisi di buku diari khusus untuk sahabat terbaikku, Tika, tentang perjalanan persahabatan kami. Aku menegakkan punggung, memainkan pulpen di tangan kanan sambil membaca ulang dua halaman itu kembali.

Angin berhembus dari kaca nako yang kurenggangkan, menggoyangkan tirai jendela masuk menyentuh kulit. Dingin menyejukkan. Jam weker persegi berwarna hitam yang terletak di sudut kiri meja arah ke dinding menunjukkan pukul 10 malam. Beberapa anak kost di kostanku ini sudah mematikan lampu kamar mereka, mungkin sudah tertidur. Beberapa lainnya masih terdengar bersorak di ruang TV, mendengarkan salah seorang kontestan ajang penampilan bakat -yang sedang marak di televisi-, menyanyikan sebuah lagu tentang cinta yang dipopulerkan A1, “Make It Good” –hasil kupinganku dari lantai atas.

“Kost Putri Pelangi”, itu nama tempat kostku, kost-kostan dua lantai yang terdiri dari 53 kamar. Kosan inilah yang telah ku huni selama 4 tahun lebih. Kostan yang telah menaungiku dari panas, melindungiku dari hujan yang disertai petir memekakkan telinga yang menakutkanku dengan kilat-kilatnya, menyaksikan pasang surut perasaan, dan tentunya merekam semua scene kehidupanku tiap hari, minggu, bulan, dan tahun-tahun yang berganti selama 4 tahun lebih ini.

“Kak, Kak..” Aku terperanjat, mendengar panggilan yang menyadarkanku dari lamunan barusan. Syesa, adik kamar sebelah memanggilku.

“Ya, kenapa Sya ?” suara agak ku keraskan karena Syesa memanggilku dari kamarnya.

“Kaak, aku luka kak, tolong kak, darahnya…” Syesa sedikit berteriak tapi tertahan, seperti akan menangis.

Bergegas aku keluar, langsung membuka gagang pintu kamar Syesa yang tidak dikunci. Terlihat Syesa sedang meringis dengan mata merah menahan tangis.

“Kenapa Sya ?” Aku berusaha tenang sambil menjongkok melihat daerah tulang kering Syesa yang mengeluarkan darah.

“Luka kak, gimana nih, darahnya terus-terusan kelu..ar, aku taaa..kut kak.” Syesa memegangi tulang keringnya. Masih berusaha menahan tangis.

“Iya Sya, ga papa, namanya juga luka. Ya pasti keluar darah. Kamu punya Kotak K3 kan ?” Aku berusaha bersikap tenang sambil mencari-cari kotak K3 di meja belajarnya.

“Itu kak, di dalam laci.”

Benar, ternyata di dalam laci tersebut ada kotak K3 yang sepertinya sudah lama tidak dibuka-buka. Segera kubuka. Syukurlah, ternyata isinya masih lengkap. Kasa, plester, alkohol, dan obat merah yang kucari ada disana.
Aku membersihkan luka Syesa dengan larutan alkohol.

“Sakit kak”

“Tahan sebentar, luka kecil kok sya.”

“Euuhh..” Syesa berusaha menahan perih sambil sedikit mengangkat kaki yang lainnya. Seperti sebuah pengalihan rasa sakit.

“Ini kayanya luka kena tusukan paku Sya. Kecil tapi agak dalam kayanya. Kamu habis darimana ?”

“Mungkin kak, tadi pas mau pulang aku terperosok ke lubang dekat pembatas pagar stasiun. Awalnya memang agak susah untuk berdiri, perih. Tapi aku paksain. Barusan, pas aku buka jeans, jeans lengket kak. Pas aku cek ternyata bagian lutut ke bawah udah berwarna coklat. Aku pikir itu tanah yang lengket pas aku jatoh. Aku paksain aja jeansnya biar lepas, eh ga taunya, darah segar keluar kak. Langsung terasa perih banget kak. Aku takut.” Syesa menjelaskan dengan lancar, setidaknya ini melegakan, rasa takutnya sudah berkurang, dan mungkin perihnya juga tak lagi terasa.

“Ooh… kakak kasih obat merahnya aja ya. Ini luka kecil kok. Mudah-mudahan ga apa-apa” Aku merespon tenang sambil membalut luka syesa dengan kasa yang telah kububuhkan obat merah.
“Aku pe..ngen Ibuu… kak”
“Lha, kenapa ?” Aku menganga, heran melihat Syesa tiba-tiba telah terisak sambil menunduk di depanku. Aku terdiam, tak tahu harus berkata apa.

“Kak, aku pasti bisa kan kak.”

“Iya, pasti bisa dong.” Aku mengiyakan dengan cepat. Memunguti kasa-kasa bekas, sisa membersihkan luka Syesa barusan dan memasukkannya ke dalam tong sampah di ujung pintu.

“Benar kan kak ? Aku bisa kan kak?” Syesa kembali mengulanginya dengan suara yang lebih kecil, terdengar putus asa.

“Iya. Oh ya, malam ini kita tidur bareng yuk. Kakak lihatin ke kamu videonya.” Akhirnya aku menggunakan trik terampuh yang sudah lama kusimpan untuk membuat Syesa tak melanjutkan isaknya. Aku tak tahan kalau harus melihatnya menangis lagi malam ini.

(bersambung)

Sajak Cinta (Chapter 1)

BAB 1
SATU FREKUENSI TENTANG KU

SATU FREKUENSI TENTANGKU
“Ya nak, rajin-rajinlah kau belajar, supaya bisa keluar dari kampung ini. Benar, bak kata nenekmu dulu pada ibu “Rosma, akalmu cuma akan sepanjang tali kerbau kalau kau tiap hari cuma mau menunggangi kerbau bajak ayahmu ini. Pergilah kau mengaji, biar nak terbuka sedikit pikiran mu itu.”

Itulah yang selalu Ibuku pesankan setiap kali aku mengeluhkan kebosananku tinggal di kampung, menyaksikan pemandangan yang itu-itu saja setiap hari. Pemandangan yang telah ku rekam bahkan semenjak enam belas tahun lalu saat aku masih berumur satu tahun.
Sebuah kampung yang terletak antara dua bukit batu, dengan jalan mendaki menurun dan berliku. Di sepanjang tepi jalan kampung kecilku, sawah bertingkat-tingkat membentang luas sampai ke kaki bukit batu. Sawah terassering, kata guru SD ku dulu, tempat ayahku juga mengajar olahraga disana.

Air bersih, adalah kata yang sulit untuk kami temui. Sepengetahuan orang-otang tua di kampung, sulit sekali mencari mata air di tanah kampung kami. Ada rumah di perbatasan kampung, menggali tanah sedalam 75 meter dulu baru mereka bisa mendapatkan air bersih untuk minum dan memasak. Apalagi di sekitaran rumahku, tak ada satu pun diantara kami yang punya sumur dirumahnya. Hanya mengandalkan air hujan untuk memenuhi bak batu besar yang dibuat ayah di belakang rumah untuk mandi dan berwudhu. Sedangkan untuk minum dan memasak, aku dan Ibu harus berjalan menuruni kampung sampai di perbatasan kampung sebelah untuk membawa air dari pincuran yang dinamai “Pincuran Permata Tujuh”. Pincuran yang airnya begitu besar sebanyak 7 buah pincuran, 4 untuk laki-laki dan 3 untuk perempuan. Disanalah kami menampung air. Air itu kami tampung dengan 2 ember hitam anti pecah –satu untuk ku junjung dan satunya lagi dijunjung ibuku- dan 4 jiregen bekas-wadah minyak bermerk- yang kami beli di pekan mingguan nagari. Dua jiregen untuk ku jinjing, dua lainnya dijinjing Ibu. Terkadang-bahkan sering sekali- sembari mengambil air di pincuran, kami langsung mandi di pincuran, sebagai penghematan air di rumah, kalau-kalau hujan tak turun. Nah, jika mandi di pincuran ini, rasa-rasanya, niat kami untuk menghilangkan gerah, tak bertemu hasilnya. Bagaimana tidak, untuk menuju rumah kembali, aku dan Ibu harus menjunjung ember penuh air di kepala dan menjinjing jiregen yang berisi air di kedua tangan. Tak hanya itu, kamipun harus menyusuri jalan yang mendaki sehinga gerah yang ingin kami hilangkan dengan mandi sama dengan gerah yang datang kembali ketika berjalan pulang.

***

Turunnya embun dingin yang menyelimuti bukit kampung merupakan alarm dimulainya kesibukan pagi para warga yang telah bangun pagi-pagi sekali sebelum shubuh. Pisang goreng dengan ketan di kedai Mak Ican pun telah menunggu untuk disantap hampir seluruh warga menjelang pergi ke sawah, ladang, dan SD di kampung kami. Kemudian siangnya, warga-yang bekerja sebagai petani, pedagang, dan guru SD kampung- akan pulang kerumah untuk makan siang dan setelahnya akan kembali ke tempat mereka bertani, berladang, atau mengajar.

Sore harinnya ibu-ibu akan duduk di bangku-bangku tembok di depan rumah mereka berkumpul dengan tetangga, bercerita tentang anak dan suami mereka, atau bergosip tentang skandal anak pejabat lama dengan salah satu artis cantik dengan suara menawan yang dikabarkan telah menikah dan sedang hamil anak pertamanya, atau mengeluhkan harga cabe yang merosot jauh karena hujan yang sudah lama tak turun. Ibuku akan menjadi narasumber
Bapak-bapak juga akan berkumpul bersama di kedai menikmati segelas kopi sambil melihat berita tentang harga sembako atau olahraga. Dan pertandingan sepak bola adalah kabar yang paling mereka tunggu-tunggu, baik pertandingan di Indonesia maupun dunia. Menariknya, bapak-bapak di kedai itu memiliki jagoan yang sama di setiap kali pertandingan, entah siapa yang mempromosikan grup yang mereka jagokan itu, sampai-sampai seluruh bapak sekedai itu mengidolakan grup yang sama. Jadinya, tidaklah pernah ada perseteruan diantara mereka. Namun, bahayanya, kalaulah grup yang mereka-sekedai-idolakan itu kalah, sungut-sungut mereka pada loyo semua, pulang ke rumah dengan gontai, dan menghisap daun bakau dengan cepat dan dalam, bahkan menyalahkan kurangnya garam gulai daun pucuk ubi buatan para istri –aku pernah menyaksikan Bapak dalam hal ini.

Anak-anak yang berumur 9-15 tahun ada yang mengerjakan PR –bagi yang mujur bisa sekolah- dan setelahnya mereka akan bermain dore, cakbur, main tali merdeka, atau main sembunyi anak, tergantung permainan apa yang lagi musim di sekolah. Permainan ini baru akan berhenti kalau sudah terdengar teriakan ibu-ibu mereka yang menyuruh untuk segera pulang kerumah, karena maghrib akan segera tiba.

Lain lagi dengan rutinitas anak-anak perempuan seumuran denganku. Kami duduk-duduk di depan tangga rumah –salah satu rumah teman- bersama teman-teman seumuran sambil menghadap ke jalan. Melihat-lihat pemuda-pemuda tanggung sebaya. Dan seringnya, pemuda-pemuda tersebut akan jadi bahan pembicaraan kami berminggu-minggu. Ada-ada saja yang akan dibicarakan. Tentang jadwal mereka melewati kampunglah, warna jaket merekalah, atau siapa diantara mereka yang paling tinggi badannya. Dan bahkan saling tantang menantang, siapa yang dapat menaklukkan hati pemuda itu. Ada-ada saja. Ini yang terkadang menjadi sebuah pertanyaan besar pada tiap malam-malamku sebelum memicingkan mata.

Tak berbeda jauh pula dengan anak-anak lelaki seumuran ku, mereka akan keluar berjalan dari rumah mereka, memakai jins, membasahi rambut dan membuatnya sedikit tegak dibagian depan bak gaya Panji di sinetron Panji Millenium. Berjalan dengan tangan dikekar-kekarkan seperti mau menantang lawan, berjalan dengan ritme satu langkah untuk satu detik. Pelan. Bergaya sekali. Kemudian mereka, para bujang-bujang tanggung itu, sesekali –minimal di akhir pekan- akan memacu motor mereka – satu motor berdua-di depan kami sambil menekan gas nya lebih keras, dengan menahan gigi motor, kemudian mengencangkan gasnya, ketika mereka tepat di depan rumah kami berkumpul. Kemudian sedikit melirik. Dan yang paling genit diantara mereka melapaskan dua sampai tiga kali kedipan mata. Huah. Benar-benar kepalaku pening. Tapi aku tetap saja akan ikut berkumpul dengan teman-temanku di sore hari. Tak kutemukan alasan yang tepat untuk menolak ajakan teman sekampungku.

Malam harinya, sebagian bapak-bapak akan menghabiskan waktunya di kedai, duduk-duduk sambil menikmati daun bakau yang mereka isi dengan tembakau, seperti menikmati bau asapnya yang beraroma khas, mengenakkan bagi mereka, namun terkadang menyesakkan bagi orang-orang yang tak tahan dengan bau menyengatnya. Lampu-lampu rumah hanya sebentar saja tampak hidup terang, karena jam 21.00 adalah sudah larut bagi warga kampung, apalagi yang bertani, mencangkul sawah pada paginya. Sesekali, ketika musim pertandingan bola -apalagi pertandingan grup idola bapak-bapak sekedai berlaga- satu lampu yang akan bertahan sampai pukul 02.00 dini hari adalah lampu kedai tempat para bapak menonton bersama. “Tak enaklah kalau menonton dirumah sendirian. Saat kalah, berat sekali ku rasa memikulnya, bahkan ketika gol pun, tak pulalah enak rasanya ketika berteriak sendirian di depan TV hitam putih tu”, begitu komentar Bapak, ketika ku sarankan padanya agar tak usahlah menonton terlalu malam di kedai –dengan jendela yang terbuka-, dingin.

***

Tepat saat aku duduk di kelas dua SMA di kota-15 km dari kampungku- aku memutuskan harus keluar jauh dari kampungku untuk menuntut ilmu. Ini sebagai langkah awal ku menjawab keluhan-keluhan yang dari dulu sering kutumpahkan pada Ibu. Aku harus keluar. Pergi jauh menyebrangi lautan dan berlabuh di daratan baru sambil terus berharap akalku dapat lebih panjang dari tali kerbau pembajak sawah di kampungku, seperti yang sering diceritakan Ibu.

Penyegaran (I)

Hei blog, dalam beberapa minggu terakhir kayanya lo pada bosan dengan postingan gue ya. Postingan tentang kabut berkali-kali, double G juga berulang-ulang, belom lagi curhat gue yang lain.

Jadi gini blog, gue tau sebenarnya lo bosan, tapi yah mo gimana guenya masih aja ga bosan-bosan nulis disini.(Hahaha).

Yang sabar ya, ngadepin gue yang potongannya begini, tahu orang bosan tapi teteup ga bosan-bosan ngebosenin orang. Ups, tapi lo senang ka sebenarnya gue jadiin tempat cerita, ya kan ya kan (#ngacungintelunjuk gaya ngancem =P).

Ah blog, gue emang suka ngisengin orang. Tapi lo tenang, malam ini gue baik kok. Paham banget dengan kebosenan lo terhadap postingan-postingan gue. Oleh kerana itu, dalam beberapa waktu ke depan gue mau posting “cerita bersambung” secara berkala di blog ini. Cerita keseharian gue, gue skip dulu yah, ada maintanance penting (#halah gaya 😉 )

Sebelum gue posting itu cerita, baiklah dalam beberapa paragraf berikut ini gue jelasin asal muasal kenapa gue terpikir untuk memosting cerita tersebut.

Syahdan disuatu ketika (#Cem cerita jadul oii). Okeh, Ehem. Gue akan serius.

Begini latar belakangnya.

Jadi kan ya, setelah maghrib tadi sambil berkendara gue kepikiran buat ngeberesin data-data di laptop-data-data gue udah acak-acakan banget blog, puyeng ngeliatinnya, berantakan abis dah. Nah, pas kepikiran mau ngeberesin data, kebiasaan terbang-terbangnya pikiran gue kumat lagi. Bukannya memikirkan strategi untuk ngeberesin tuh data yang gue pikirin, malah kepikiran naskah cerita yang belum sempat selesai yang muncul di benak. Jadilah, barusan gue cari lagi itu naskah. Nemu deh #assiiik.

Daripada itu naskah lumutan di laptop nunggu gue selesein ceritanya, mending gue posting berkala kan. Mana tahu, pas gue posting gue kepikiran gimana lanjutan ceritanya. Ya kan, ya kan. Atau ada orang lain yang bersedia kolaborasi nyelesein itu cerita dengan gue (#kan keren tuh =D ) atau malah ada penerbit yang jatuh hati dengan jalan ceritanya (#ammpuunn dj…jangan lemparin gue dong hakshokshakshoks). Eiittss Who Knows ? (jangan understimate ke gue gitu lah..)

Dengan pertimbangan-pertimbangan diatas, jadilah gue bermaksud untuk memosting naskah itu blog. Selain dari pertimbangan diatas, postingan ini sebagai bentuk penyegaran bagi BLOG RESEPSENYUM yang semakin hari semakin-semakin ini (Semakiinnn apaan ….? ^0^)

Ohiya, di awal gue bikin ini naskah sebenarnya udah ada judulnya sih. Tapi itu judul belom gue akikahin belom gue ketuk palu, so belom resmi gitu deh. Jadi kalo diperjalanan pemostingan cerita itu nanti, gue berubah pikiran atau ada saran-saran judul yang lebih pas dan tepat, hal itu sah-sah saja dan sangat mungkin terjadi.

Lo mau tahu judulnya apa blog ?
Mau tau ga ?
Lo ga mau tahu ?

Yah kok gitu sih.
Padahal kan gue pengennya, lo bilang gini “Jadi jadi, judul awalnya apa. Bilangin dong. Penasaran nih”.

Hohoho..
Hmm, Jadi lo sekarang mau tahu kan…?
Mau tahu aja, apa mau tahu banget…?

Eh, eh, iya iya.
Jangan ngambek gitu dong.

Jadi judulnya itu “SAJAK CINTA” blog (#judulyang sama dengan judul puisi yang gue tulis sehabis lebaran haji kemaren.)

Okeehh…
Selamat Menikmati.

Dengan ini, Jum’at, 04 April 2014 pada pukul 09.22 malam (Waktu Lappy Gue), dengan resmi pemostingan Cerita Bersambung”SAJAK CINTA” dimulai. Tok tok tok.

first sunshine after weeks

Alhamdulillah, Thank you Allah for raining, this dawn. Watering the ground, Freshening the air, Vanishing the haze and smoke.

You have taught me how to thank for fresh air You breathe me, for bright sunshine You aglow me, for clear-blue sky You beautify eyesight of me.

Alhamdulillah, thank you Allah for this brighter sunshine this morning, after weeks before fade away.

#Friday, March 14th, 2014 –> Citizens prayed istisqa
#Saturday, March 15th, 2014 –> Raining

Allah listens the dua of His Slave.

“And when My servants ask you, [O Muhammad], concerning Me – indeed I am near. I respond to the invocation of the supplicant when he calls upon Me. So let them respond to Me [by obedience] and believe in Me that they may be [rightly] guided”. Al-Baqarah: 186)

rekor jadi penumpang

Hai blog, lama tak menyapamu.

Hanya ingin bercerita tentang hari ini. Hari yang menjadi hari bersejarah dalam hidup saya (asem gaya lu Mel :P). Bagaimana tak kan dikatakan bersejarah, kalau hari ini terpecahkan menjadi hari dimana saya dapat boncengan dari 3 orang pengendara motor yang berbeda dengan rute yang berbeda-beda pula. Menyenangkan, menikmati perbedaan cara teman-teman saya ini dalam mengemudikan motornya. Ada yang membuat saya harus mengingatkan berkali-kali agar dia mengurangi kecepatan bermotornya, ada yang membuat saya santai menjadi boncengannya, dan bahkan ada yang membuat mata saya tak tahan untuk menahan kantuk duduk dibelakangnya.

Satu point pentingnya adalah saya jadi tahu seluk beluk kota padang (parah kamu mel) hahaa. Yaa saya baru sadar ternyata pengetahuan saya tentang rute Angkot Dan daerah kota padang belum terpenuhi untuk dijadikan sebagai bukti menjadi seorang yang pernah menetap 4 tahun di kota Bengkoang ini 🙂

Ini cerita saya hari ini, bagaimana ceritamu ? #ngiklan 😀

Musafir Bertemu Air

Sepertinya, judul ini cocok sekali.
Tak perlu ditanya bagaimana perasaan sang musafir saat menemui air di perjalanan. Panas mentari yang terik memanggang, sepatu amblas terkikis aspal jalanan, peluh bercucuran meninggalkan bekas untuk setiap langkah yang terayunkan meninggalkan jejak dibelakang.

Tak perlu ditanya lagi perasaan sang musafir saat bertemu air di perjalanan.

Dan bagi saya, yang sedang tak menjadi musafir ini, merasakan perasaan yang sama saat melihat biru langit yang akhirnya tampak setelah dua mingguan ini tertutupi asap yang mengangkasa.

Akhirnya, biru langit terkuakkan air hujan yang semalam turun menentramkan.

=)

Desaku

A song from L. Manik that pleasant tobe listened

Desaku yang kucinta

Pujaan hatiku

Tempat ayah dan bunda

dan handaitaulanku

Tak mudah kulupakan

Tak mudah bercerai

Selalu kurindukan

Desaku yang permai…

#rindu langit biru bukittinggi-payakumbuh, beberapa hari tersaput asap kelabu.

Cerita Renyum dari Negeri Fabel

Angin bertiup kencang, rumput-rumput kecil bergoyang ditengah padang yang terhampar lapang sepanjang mata memandang. Air danau beriak, ikan-ikan terdengar berkecipak.

Negeri Fabel adalah sebuah pulau indah di perairan wonderland, di pulau ini berdiamlah beberapa jenis hewan. Ada ular, ada pipit, ada kadal, ada kucing, ada monyet, ada tikus, ada burung hantu, ada itik, ada ayam, ada kenari, ada golden pheasant, ada rainbow lorikeet yang cantik, ada nuri pelangi, dan ada bird of paradise.

Yap, benar sekali, di Negeri Fabel ini, banyak sekali keluarga Aves. Aves yang ceria, indah, dan berseni.

Dan disuatu sore yang indah.

Dari arah selatan, dibawah beberapa pohon Ek terlihat gerombolan pipit sedang bertengger di cabang paling rendah. Sedang berbincang-bincan. Terdengarlah sekilas apa yang mereka perbincangkan.

Pipit 1 : Hei, gua pusing cuy.
Pipit 2 : Elo, pusing kenapah ?
P 1 : Itu banyak banget yang koar-koar mau gantiin si ketua di pulau kita ini.
P 2 : Lha, trus elo pusing dengerin koar-koar mereka ?
P 1 : Ya hiyalah, gua kan pengennya terbang itu damai bro, ga berisik dengerin ini itunya.
P 2 : Ah elo pit, gitu aja pusing. Eh Betewe ntar elo pilih sopo ?
P 1 : Ogah gua milih bro. Males, ga ada yang pantes juga.

Tiba-tiba seekor itik datang, menengadah ke arah dua pipit.

Itik : Hei, kamu-kamu lagi apa iku diatas rek.
P 2 : Ini tik, ngomongin pemilihan ketua pulau kite.
Itik : Owh, asik nih. Ngomong-ngomong, pada mau milih siapa kalain rek ?
P 2 : Masih mikir gua tik. Tapi si pipit males milih katenye.
Itik : Lha, kenapa tho pit ?
P 1 : Emang kamu pikir yang paling pantes siapa tik ? Ga ada yang pantes buat gua mah.
Itik : Hmm? Siapa ya. Saya juga kurang tahu sih.
P 1 : Makanya tik, mending gua ga milih kan. Daripada beli Timun dalam Karung. Ga tau timunnya lurus apa bengkok. Mending ga usah beli dah.
Itik : Gitu ya ? Ah, bingung juga nih saya.
P 2 : Eh tik, betewe kamu mau kemana ?
Itik : Mau ngadem aja rek. Hehe.

Tak lama kemudian datanglah seekor kenari.
Kenari : Hai sobat, ane punya berita nih, calon ketua kita ada 5 euy.
Itik : Owh iya Kennar?
Kenari : Yo i tik.
P 2 : Siapa aja Kenn ?
Kenari : Ada Ular Rieno yang biasa berdiam di utara, Ada Elang Goyla yang suka di pesawahan sono, trus ada Burung Hantu Uono yang sering tengger di dahan Ek, ada Monyet Tyfo, dan ada Kadal Leyhon.
P 1 : Yeeh, mereka. Bener khan ga ada yang pantas. Itu si ular licik, si Tikus jorok dan berisik, Si Burung Hantu tukang kepo, Si Monyet rakus, dan Kadal Penipu. Ga ada yang panteslah.

Itik : Jadi yang pantes menurut kamu sopo pit ?
P 1 : Tau deh (ngangkat bahu)
Kenari: Atau kamu mau ga dicalonin.
P 1 : Ogah gua ngatur pulau ini cuy.
P 2 : Lha trus ?
P 1 : Pokoknya ga ada yang pantes lah.

Tiba-tiba datang seekor Gagak.

Gagak : Hey Bro, lagi rame nih keliatannya.
Kenari, P 2, Itik : Sini Gak. (Serentak)
Gagak : Ngomongin apa nihh ?
Kenari: Pemilihan ketua kita.
Gagak : Kalian milih siapa ?
P 2 : Itu dia Gak, kita bingung mau pilih siapa.
P 1 : Kalo gua mah ga bingung Gak, Udah bulat tekad ga milih. Itu aja kok bingung. Ya ga.
Gagak : Hohoho. Jadi Bro-Bro gue lagi pada bingung nih ceritanya. Gini Bro. Hak pilih ada ditangan kita tho. Nah, kita tinggal kenali dan pelajari para calon ketua kita bro. Nah, namanya sesama hewan, yang notabene makhluk, kesempurnaan tentulah bukan milik kita bro, dan bukan pula milik para kandidat calon ketua. Tugas kita cuma memilih yang paling bai diantara mereka. Dan kalaupun mereka tidak ada yang baik. Berarti kita tetap harus pilih yang buruk dari yang terburuk. Dan jika memang diantara mereka tidak ada yang baik, sebaiknya ada diantara kita-yang mungkin lebih baik dari mereka- untuk mencalonkan diri.
P 1 : Jadi maksud lo, harus milih gitu bro.
Gagak : Hmm, maksud gue, jangan ga milih bro.
P 1 : Apa bedanya ama “Harus Milih Bro”
Gagak : Lebih lunak aja bro. Kalo gue bilang harus milih, kayanya gue Bos banget kan. Hehe.
Kenari: Hmm, kenapa harus milih Gak.
Gagak : Gini sobat. Pulau ini adalah pulau kita, kita hidup disini, dan kita berhak untuk itu. Nah, untuk mengatur kehidupan kita disini, maka diperlukan satu ketua. Kenapa harus satu, biar hidup kita punya keteraturan sob.
P 2 : Trus
Gagak : Nah, sekarang kita diberi hak untuk memilih siapa ketua yang akan mengatur hidup kita. Ketua yang akan membimbing dan melindungi kita. Jadi tentu saja adalah sesuatu hal yang paling bijak untuk menggunakan hak tersebut sebaik mungkin.
Coba sobat bayangkan, kalo banyak diantara kita, para Aves, yang ga gunain haknya. Sedangkan para reptile dan simpanse gunain hak mereka. Trus terpilih salah seekor dari kandidat mereka. Hidup kita akan memburuk sob. Mereka bisa saja membuat peraturan melegalkan pemangsaan Aves oleh para reptile atau simpanse. Apa jadinya hidup kita. Apa jadinya. Padahal jelas-jelas keluarga Aveslah yang paling banyak di pulau ini.
P 2, Kenari, dan Itik : Wah bener Bro. Setuju sob.
P 1 : Jadi gue harus milih nih.
Gagak : Bukan harus milih sob, tapi jangan sampai ga milih.
P 1 : Ah elo bro. Bisa aje lu. ^_^

Mendengar itu, renyum tersenyum.
“Sepertinya saran Gagak bagus juga untuk tanggal 9 April 2014 ini”

~JANGAN SAMPAI GOLPUT YA~
^_^