Tag Archive | sajak cinta chapter 1

Sajak Cinta (Chapter 1)

BAB 1
SATU FREKUENSI TENTANG KU

SATU FREKUENSI TENTANGKU
“Ya nak, rajin-rajinlah kau belajar, supaya bisa keluar dari kampung ini. Benar, bak kata nenekmu dulu pada ibu “Rosma, akalmu cuma akan sepanjang tali kerbau kalau kau tiap hari cuma mau menunggangi kerbau bajak ayahmu ini. Pergilah kau mengaji, biar nak terbuka sedikit pikiran mu itu.”

Itulah yang selalu Ibuku pesankan setiap kali aku mengeluhkan kebosananku tinggal di kampung, menyaksikan pemandangan yang itu-itu saja setiap hari. Pemandangan yang telah ku rekam bahkan semenjak enam belas tahun lalu saat aku masih berumur satu tahun.
Sebuah kampung yang terletak antara dua bukit batu, dengan jalan mendaki menurun dan berliku. Di sepanjang tepi jalan kampung kecilku, sawah bertingkat-tingkat membentang luas sampai ke kaki bukit batu. Sawah terassering, kata guru SD ku dulu, tempat ayahku juga mengajar olahraga disana.

Air bersih, adalah kata yang sulit untuk kami temui. Sepengetahuan orang-otang tua di kampung, sulit sekali mencari mata air di tanah kampung kami. Ada rumah di perbatasan kampung, menggali tanah sedalam 75 meter dulu baru mereka bisa mendapatkan air bersih untuk minum dan memasak. Apalagi di sekitaran rumahku, tak ada satu pun diantara kami yang punya sumur dirumahnya. Hanya mengandalkan air hujan untuk memenuhi bak batu besar yang dibuat ayah di belakang rumah untuk mandi dan berwudhu. Sedangkan untuk minum dan memasak, aku dan Ibu harus berjalan menuruni kampung sampai di perbatasan kampung sebelah untuk membawa air dari pincuran yang dinamai “Pincuran Permata Tujuh”. Pincuran yang airnya begitu besar sebanyak 7 buah pincuran, 4 untuk laki-laki dan 3 untuk perempuan. Disanalah kami menampung air. Air itu kami tampung dengan 2 ember hitam anti pecah –satu untuk ku junjung dan satunya lagi dijunjung ibuku- dan 4 jiregen bekas-wadah minyak bermerk- yang kami beli di pekan mingguan nagari. Dua jiregen untuk ku jinjing, dua lainnya dijinjing Ibu. Terkadang-bahkan sering sekali- sembari mengambil air di pincuran, kami langsung mandi di pincuran, sebagai penghematan air di rumah, kalau-kalau hujan tak turun. Nah, jika mandi di pincuran ini, rasa-rasanya, niat kami untuk menghilangkan gerah, tak bertemu hasilnya. Bagaimana tidak, untuk menuju rumah kembali, aku dan Ibu harus menjunjung ember penuh air di kepala dan menjinjing jiregen yang berisi air di kedua tangan. Tak hanya itu, kamipun harus menyusuri jalan yang mendaki sehinga gerah yang ingin kami hilangkan dengan mandi sama dengan gerah yang datang kembali ketika berjalan pulang.

***

Turunnya embun dingin yang menyelimuti bukit kampung merupakan alarm dimulainya kesibukan pagi para warga yang telah bangun pagi-pagi sekali sebelum shubuh. Pisang goreng dengan ketan di kedai Mak Ican pun telah menunggu untuk disantap hampir seluruh warga menjelang pergi ke sawah, ladang, dan SD di kampung kami. Kemudian siangnya, warga-yang bekerja sebagai petani, pedagang, dan guru SD kampung- akan pulang kerumah untuk makan siang dan setelahnya akan kembali ke tempat mereka bertani, berladang, atau mengajar.

Sore harinnya ibu-ibu akan duduk di bangku-bangku tembok di depan rumah mereka berkumpul dengan tetangga, bercerita tentang anak dan suami mereka, atau bergosip tentang skandal anak pejabat lama dengan salah satu artis cantik dengan suara menawan yang dikabarkan telah menikah dan sedang hamil anak pertamanya, atau mengeluhkan harga cabe yang merosot jauh karena hujan yang sudah lama tak turun. Ibuku akan menjadi narasumber
Bapak-bapak juga akan berkumpul bersama di kedai menikmati segelas kopi sambil melihat berita tentang harga sembako atau olahraga. Dan pertandingan sepak bola adalah kabar yang paling mereka tunggu-tunggu, baik pertandingan di Indonesia maupun dunia. Menariknya, bapak-bapak di kedai itu memiliki jagoan yang sama di setiap kali pertandingan, entah siapa yang mempromosikan grup yang mereka jagokan itu, sampai-sampai seluruh bapak sekedai itu mengidolakan grup yang sama. Jadinya, tidaklah pernah ada perseteruan diantara mereka. Namun, bahayanya, kalaulah grup yang mereka-sekedai-idolakan itu kalah, sungut-sungut mereka pada loyo semua, pulang ke rumah dengan gontai, dan menghisap daun bakau dengan cepat dan dalam, bahkan menyalahkan kurangnya garam gulai daun pucuk ubi buatan para istri –aku pernah menyaksikan Bapak dalam hal ini.

Anak-anak yang berumur 9-15 tahun ada yang mengerjakan PR –bagi yang mujur bisa sekolah- dan setelahnya mereka akan bermain dore, cakbur, main tali merdeka, atau main sembunyi anak, tergantung permainan apa yang lagi musim di sekolah. Permainan ini baru akan berhenti kalau sudah terdengar teriakan ibu-ibu mereka yang menyuruh untuk segera pulang kerumah, karena maghrib akan segera tiba.

Lain lagi dengan rutinitas anak-anak perempuan seumuran denganku. Kami duduk-duduk di depan tangga rumah –salah satu rumah teman- bersama teman-teman seumuran sambil menghadap ke jalan. Melihat-lihat pemuda-pemuda tanggung sebaya. Dan seringnya, pemuda-pemuda tersebut akan jadi bahan pembicaraan kami berminggu-minggu. Ada-ada saja yang akan dibicarakan. Tentang jadwal mereka melewati kampunglah, warna jaket merekalah, atau siapa diantara mereka yang paling tinggi badannya. Dan bahkan saling tantang menantang, siapa yang dapat menaklukkan hati pemuda itu. Ada-ada saja. Ini yang terkadang menjadi sebuah pertanyaan besar pada tiap malam-malamku sebelum memicingkan mata.

Tak berbeda jauh pula dengan anak-anak lelaki seumuran ku, mereka akan keluar berjalan dari rumah mereka, memakai jins, membasahi rambut dan membuatnya sedikit tegak dibagian depan bak gaya Panji di sinetron Panji Millenium. Berjalan dengan tangan dikekar-kekarkan seperti mau menantang lawan, berjalan dengan ritme satu langkah untuk satu detik. Pelan. Bergaya sekali. Kemudian mereka, para bujang-bujang tanggung itu, sesekali –minimal di akhir pekan- akan memacu motor mereka – satu motor berdua-di depan kami sambil menekan gas nya lebih keras, dengan menahan gigi motor, kemudian mengencangkan gasnya, ketika mereka tepat di depan rumah kami berkumpul. Kemudian sedikit melirik. Dan yang paling genit diantara mereka melapaskan dua sampai tiga kali kedipan mata. Huah. Benar-benar kepalaku pening. Tapi aku tetap saja akan ikut berkumpul dengan teman-temanku di sore hari. Tak kutemukan alasan yang tepat untuk menolak ajakan teman sekampungku.

Malam harinya, sebagian bapak-bapak akan menghabiskan waktunya di kedai, duduk-duduk sambil menikmati daun bakau yang mereka isi dengan tembakau, seperti menikmati bau asapnya yang beraroma khas, mengenakkan bagi mereka, namun terkadang menyesakkan bagi orang-orang yang tak tahan dengan bau menyengatnya. Lampu-lampu rumah hanya sebentar saja tampak hidup terang, karena jam 21.00 adalah sudah larut bagi warga kampung, apalagi yang bertani, mencangkul sawah pada paginya. Sesekali, ketika musim pertandingan bola -apalagi pertandingan grup idola bapak-bapak sekedai berlaga- satu lampu yang akan bertahan sampai pukul 02.00 dini hari adalah lampu kedai tempat para bapak menonton bersama. “Tak enaklah kalau menonton dirumah sendirian. Saat kalah, berat sekali ku rasa memikulnya, bahkan ketika gol pun, tak pulalah enak rasanya ketika berteriak sendirian di depan TV hitam putih tu”, begitu komentar Bapak, ketika ku sarankan padanya agar tak usahlah menonton terlalu malam di kedai –dengan jendela yang terbuka-, dingin.

***

Tepat saat aku duduk di kelas dua SMA di kota-15 km dari kampungku- aku memutuskan harus keluar jauh dari kampungku untuk menuntut ilmu. Ini sebagai langkah awal ku menjawab keluhan-keluhan yang dari dulu sering kutumpahkan pada Ibu. Aku harus keluar. Pergi jauh menyebrangi lautan dan berlabuh di daratan baru sambil terus berharap akalku dapat lebih panjang dari tali kerbau pembajak sawah di kampungku, seperti yang sering diceritakan Ibu.